WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Senin, 26 Mei 2008

Politik Pilgub

DRAMATURGI POLITIK PILGUB
Oleh : Abdul Muiz Syaerozie

Hanya dalam hitungan hari, PILGUB Jawa Barat segera digelar. Ini berarti bahwa tahapan-tahapan ritual menuju titik puncak pesta demokrasi setidaknya akan dan telah dilakukan dengan sekian sitematikanya. Mulai dari konsolidasi elit politik, perebutan kendaraan politik, penggalangan massa sampai pada prosesi kampanye.

Dalam momentum ini, kita selalu dipertontonkan pada sebuah aksi dari para aktor politik yang sarat dengan kepura-puraan, manipulasi dan seolah-oleh benar-benar terjadi. Artinya, dalam momentum pilkada, kita sedang menonton dramaturgi politik yang diperagakan para tim sukses, elit politik dan calon pemimpin masa depan.

Karena itu, kita dapat menyaksikan setiap elemen yang menjadi pemeran dalam drama sederhana tanpa prolog dan epilog ini berprilaku dalam ranah yang dapat membangun kepercayaan masyarakat. Berakting secara menyakinkan hingga dapat menumbuhkan rasa simpati dalam jiwa kesadaran para penonton. Titik arahnya menggiring penonton pada suatu anggapan prihal kapasitas, moralitas dan integritas figure calon yang bersangkutan.

Ada scenario yang disusun secara sistematis. misalnya, dalam upaya membangun simpati masyarakat, kita dapat menonton aktor dramaturgi politik berakting dalam dua kategori bentuk aksi. Pertama kategori aksi social-kemanusiaan. Seperti memberi bantuan sembako kepada masyarakat miskin, membiayai sekolah bagi anak-anak yatim, membuka pos kesehatan geratis untuk masyarakat dalam jenjang waktu yang terbatas dan setiap aksi-aksi social yang dilakukan menjelang masuknya masa kampanye.

Secenario ini dikemas seolah-olah apa yang dilakukannya karena factor kemanusiaan. Padahal, dibalik aksi socialnya terselubung manipulasi dan pendustaan terhadap masyarakat. Masyarakat dibohongi dan didustai dengan cara menampilkan wajah kemanusiaan yang bersifat sesaat dan akan hilang secepat kilat ketika dramaturgi politik telah usai.

Kedua, kategori aksi social keagamaan. Seperti istighosah bersama masyarakat, menghadiri pengajian, dan silaturrahmi ketokoh-tokoh agama. Hal ini diperagakan bukan dalam kapasitas kemurniannya mendekatkan diri pada sang khalik, melainkan juga difungsikan sebagai media politik.

Singkatnya, model skenario dramaturgi politik yang diperankan tim sukses, elit politik dan calon pemimpin masa depan dalam spectrum ini, sengaja difungsikan sebagai media sosialisasi sekaligus berfungsi untuk membentuk stereotype positif kepada figure calon yang bersangkutan ditengah masyarakat. Tentu pada gilirannya akan menumbuhkan rasa simpati masyarakat.

Dengan memerankan sebagai sosok kepribadian yang shalih, dan sosok serta kelompok yang sensitive akan persoalan kemanusiaan, seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, aktor dramaturgi poitik mengharapkan terbangunnya citra positif tentang biografi calon ditengah masyarakat. Padahal solusi yang ditampilkan dalam dramaturgi politik hanya bersifat sementara. Dan itu tidak akan bisa menyelesaikan problem rakyat kecil sampai ketingkat akar-akarnya jika hanya dengan memberikan sebungkus sembako dan souvenir.

Tidak hanya itu, dalam dramaturgi politik, kita juga dapat menikmati betapa lihainya para aktor politik mengemas janji-janjinya dengan menggunakan bahasa komunikasi politik yang berbusa-busa. Patriotik dan emansipatorik. Yakni bahasa yang seakan-akan mengapresiasikan spirit pembebasan dari sekian masalah pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Sekaligus menggambarkan jiwa keberpihakan sang aktor kepada kaum lemah.

Adalah benar bahwa sosialisasi program dan pencitraan sangat penting bagi proses pemenangan di kancah pemilihan kepala daerah. Namun, cara-cara yang digunakan cenderung hanya membentuk sikap apatis, pesimis dan pasif ditengah masyarakat. Bukankah kita sering melihat sikap masyarakat yang menyambut pilkada setengah hati, kerena sering dikecewakan oleh janji-janji elit politik yang tidak pernah di tepati ?. Bahkan pada taraf tertentu masyarakat cenderung memilih golput.

Cara-cara kalsik seperti itu juga yang menyebabkan tumbuhnya kesadaran politik pragmatis ditengah masyarakat. “Siapa yang mampu memberi uang lebih banyak maka dia akan dipilih”. Toh bagi mereka, siapapun yang terpilih, nasib rakyat kecil tidak pernah berubah.

Dari sisni, seharusnya para elit politik sadar bahwa cara klasik yang di tergambar dalam scenario dramaturgi poltik sangat tidak mendidik terhadap rakyat. Juga menghambat upaya pencapaian target perubahan nasib wong cilik. Sebab, scenario ini hanya menampilakan wajah kamuflase dan menumbuhkan mitos politik melalui program irrasional.

Oleh karena itu, elit politik seharusnya mampu membangun sekenario baru yang memberikan ruang secara terbuka bagi partisipasi aktif masyarakat. Caranya dengan mengganti sistem top-down menjadi button up dalam proses perumusan visi dan misi. Dengan kata lain, masyakatlah yang merumuskan arah kebijakan kepemimpinannya. Entah perumusan itu melalui organisasi masyarakat, paguyuban, lembaga sosial keagamaan, mapun melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sekaligus dilakukan kontrak politik bersama masyarakat untuk tetap komitmen pada visi dan misi rancangan bersama.

Dengan partrisipasi aktif masyarakat, akan terbentuk suatu sikap tanggung jawab ditengah masyarakat. Calon pemimpin pun akan sulit mengabaikan jani-janjinya. Dan nuansa gerak masyarakat bersama elite politik juga relatif baru. Mereka bukan lagi dua sisi yang terpisah, tetapi sama-sama menjadi aktor. Sehingga tidak ada lagi monopoli pemeran dalam dramaturgi politik. Inilah yang harus diwujudkan dalam momentum pilgub Jawa Barat.


Penulis adalah sekjend KSS (Komunitas Seniman Santri) dan staf pengajar Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.