WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Senin, 26 Mei 2008

Demonstarsi

Mengapa Harus Demonstrasi ?
Oleh : Abdul Muiz Syaerozie

Sejak pemerintah republik Indonesia mengizinkan investor asing untuk membikin jalan tol melintasi areal pesantren terdengar oleh khalayak umum, muncul aksi protes massa yang dipelopori kalangan santri, Kyai dan masyarakat Pesantren Bababkan.

Aksi demonstrasi yang bertubi-tubi itu lantaran dipicu oleh sikap kegegabahan pemerintah dalam menetapkan kebijakannya yang non populis (tidak merakyat). Anggapan ini bermula dari inkonsistensi pemerintah sewaktu sosialisasi kepada para pejabat pemerintah Desa.

Pengakuan dari sebagaian besar kepala desa (Kuwu) bahwa departemen PU, baik dipusat, propinsi dan kabupaten, telah mensosialisasikan rencana pembuatan jalan tol dengan areal yang tidak membelah kawasan pesantren Babakan, yakni berada disebelah utara komplek pesantren. ”saya ingat betul, yang disosialisasikan kepada kami adalah trans tahun 2007” kata kosim, kuwu Babakan. Tetapi kenyataan dilapangan justru berbeda. Rencana itu tidak sesuai dengan yang disosialisasikan. Sehingga ditengah masyarakat gresroot terjadi gejolak pemrotesan yang luar biasa.

Hal ini memang ada runtutannya. Dulu, sewaktu zaman Orde Baru, rencana itu sempat memanas. Pemerintah Orde Baru dan kalangan Kyai sama-sama ngotot. Hingga akhirnya ditetapkan suatu kesepakatan diantara kedua belah pihak. Kesepakatan tersebut adalah rencana trans jalan tol digusur kearah selatan lagi, agar tidak membentur langsung fisik bangunan Pesantren.

Padahal kesepakatan itu hanya menguntungkan satu pihak. Masalahnya, jika kita pahami, yang diharapkan pesantren pada waktu itu adalah bahwa pembangunan jalan tol tetap kudu dilakukan, namun tidak harus menggusur bangunan pesantren dan tidak harus berada di areal yang sengaja direncanakan untuk pengembangan pesantren dimasa yang akan datang. Tetapi protes Kyai menemui kebuntuan. Hal itu, katanya, karena ada intimidisi (diancam). Akhirnya, kalangan Kyai mengalah. Jalan tol terpaksa melintasi dan berada di areal yang direncanakan sebagai lahan pengembangan kedepan pesantren.

Tetapi pasca reformasi (setelah rezim Soeharto dipaksa mundur kalangan Mahasiswa), rencana tol kembali berubah. Semula berada di kawasan pengembangan kedepan pesantren, kini berada di sebelah utara, jauh dari lingkungan pesantren (lihat rancangan trans 2007). Dan bentuk perubahan inilah yang disosialisasikan pemerintah sekarang kepada setiap kepala desa. Lagi-lagi fakta dilapangannya tidak sesuai dengan yang di informasikan. Ada apa dengan hal ini?. Sungguh amat membingungkan wong cilik.

Yang jelas, inkonsistensi inilah yang memicu aksi protes kaum santri saat ini. Hanya saja protes yang mereka lakukan sangat berbeda dengan cara protes yang dilakukan pesantren Babakan pada waktu dulu. Dulu, aksi protes tidak melibatkan massa (hanya dilakukan oleh para Kyai), dan itu pun dilakukan melalui lobi atau sowan kepemerintah secara intensif (terus-menerus). Sedangkan protes pesantren saat ini dilakukan melalui demonstrasi (unjuk rasa) sekaligus dialog intensif. Mengapa harus demonstrasi?

DEMONSTRASI DALAM NEGARA DEMOKKRASI

Semarak demonstrasi sebenarnya bukan kali ini saja. Aksi demonstrasi sering dilakukan oleh berbagai kalangan dan diberbagai daerah dengan kasus yang berbeda. Misalnya, demonstrasi yang dilakukan masyarakat Muria Jawa tengah dalam rangka memprotes rencana pemerintah yang akan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Mereka melakukan demo karena khawatir lingkungan mereka akan terkena dampak negatif yang ditimbulkannya. Atau aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat desa Kanci kabupaten Cirebon dalam rangka memprotes rencana pembangunan pusat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), juga dengan alasan yang sama.

Contoh lainnya adalah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para korban lumpur Lapindo di Sidoarjo jawa timur. Mereka menuntut keadilan karena rumah, tanah, sawah dan kehidupan sosio-ekonomi mereka menjadi mati diakibatkan luapan lumpur lapindo. Atau demonstrasi masyarakat Kanci yang memprotes tanahnya dibayar murah, padahal janji sebelum proyek jalan tol dibangun, tanah mereka akan dibayar mahal. Begitu pula aksi demonstrasi yang dilakukan santri, Kyai dan masyarakat Babakan Ciwaringin Cirebon dalam rangka memprotes jalan tol yang melewati areal pengembangan pesantren. Dan yang terakhir inilah bagi penulis cukup meraik.

Sebab, sejauh yang mengemuka dalam kesadaran kaum santri adalah bahwa demonstrasi merupakan cara-cara non etis dalam menyampaikan aspirasi. Artinya, demonstrasi dianggap tidak berakhlaq, apalagi jika dilakukan oleh kalangan santri. bahkan, aksi demonstrasi, bagi anggapan kaum santri, akan membuat nama baik santri dan pesantren tercoreng. Padahal anggapan ini salah kaprah.

Menurut KH. Said Aqil Siradj, seorang pakar tasawuf kontemporer dalam bukunya ”tasawuf sebagai kritik sosial” berpedapat bahwa :

”Dalam iklim demokrasi, pilihan demonstrasi adalah wajar dan bahkan bisa menjadi pilihan satu-satunya untuk mengungkapkan aspirasi yang tersumbat oleh sistem maupun oleh mentalitas para pejabat negara. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bahwa demonstrasi akan hilang dengan sendirinya manakala sistem telah tertata sedemikian rupa. Sebab, tarik menarik kepentingan – betapapun kepentingan itu sudah dianggap paling ideal – akan selalu menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping itu juga, demonstrasi bisa menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, yakni sebagai kekuatan check and balance, sebagai kekuatan pengimbang, agar tidak terjadi ketimpangan yang destruktif”.

Oleh karena itu, sikap anti demonstrasi tidak berlaku bagi negara demokrasi. Malah anti demonstrasi adalah khas watak kekuasaan otoriter yang sengaja dibentuk untuk mengamankan kekuasaan. Jangankan protes yang dilakukan secara bersama-sama, protes secara individu pun tidak diperbolehkan ditengah kekuasaan yang berkarakter otoriter.

Di Indonesia sekarang ini, aksi protes dengan melakukan demonstrasi diperbolehkan selagi tidak berbuat anarkis. Dan hal itu dilindungi oleh undang-undang negara republik Indonesia. Bahkan menurut pendapat Kang Said (panggilan akrab KH. Said Aqil Sirajd) dalam bukunya tersebut bahwa ketika pemerintah bertindak sewenang-wenang, sulit membuka ruang dialog, cenderung menyengsarakan rakyat, maka aksi protes masyarakat bukan hal yang buruk. Malah masyarakat harus mengingatkannya. Dalam kondisi seperti ini, justru orang yang diam dan yang melarang demonstrasi itulah yang perlu dipertanyakan.

Wallahu ’Alam bissawab

Penulis adalah Sekjend KSS (Komunitas Seniman Santri)
Dimuat dalam Bulletin DJatira