WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Selasa, 20 November 2012

opini


LANI DI TENGAH KEMEGAHAN SEREN TAUN
7 november 2012, atau 22 Rayagung, ribuan mata terbuai dengan keindahan liak liuk pinggul dan dada penari Buyung. Bersamaan dengan itu, matahari juga tersenyum ketika perjalannnya menuju ufuk barat disambut dengan kesyahduan suara gamelan sunda.
Sementara diatas kursi, yang tertata di ujung panggung bambu, para pemuka menghabiskan kegembiraannya. Mereka benar-benar menikmanti kemolekan tubuh dan eksoterik gerakan para penari Buyung. Tarian anak-anak dan angkung buncis pun menambah kelengkapan rasa kegembiraan para pemuka.
Tidak kalah dengan mereka, Lani Alviani, demikian nama lengkap gadis muda asal kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan juga ikut tersenyum, tertawa bahkan bertepuk tangan. Tetapi tawa dan semyum Lani, ditengah kemegahan dan keramaian seren taun,  berbeda dengan senyum matahari dan para pemuka. Senyum dan Tawa Lani adalah senyum di balik beban hidup yang kian hari kian menyesakkan dada.
Mengapa demikian ? Lani adalah salah satu dari 29.000 penduduk kabupaten Kuningan yang dirundung kesusahan dalam mencari kerja. Ia dicatat sebagai manusia yang hidup di lingkaran keluarga miskin.  Atau bahkan Lani adalah salah satu gadis muda yang belum tercantum dalam angka statistic pemerintah Kabupaten Kuningan pada tahun 2010 sebagai pengangguran. Tetapi yang pasti adalah Lani menjadi korban dari proses dehumanisasi dan pemiskinan.
Boleh jadi, ada orang yang mengatakan bahwa itu takdir sang pencipta. Tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa kemiskinan yang mengungkung Lani akibat inhern dalam diri Lani sendiri. Bagi ilmuan social, terutama para penganut ilmu social paradigma modernisasi, percaya bahwa rendahnya latar belakang pendidikan Lani, sikap mental atau budaya yang tidak membangun, ataupun persoalan moral dan mental yang tidak kreatif bahkan pilihan teologi yang fatalistic dianggap menjadi penyebab kemiskinan Lani. Singkatnya, penganut ilmu social “mainstream” memandang Lani sebagai sosok gadis yang tidak kreatif, berpendidikan rendah, kurang pandai dan pemalas. Sehingga dia harus memikul beban kemiskinan.
Jika benar demikian, maka ringikan kuda pada helar budaya rasanya mengisyaratkan kita tentang sulitnya menerima argument ini. Betapa tidak, mulut dan hidung kuda diikat dengan tali. Ia di tarik dan di hentak-hentakkan sikusir kuda. Sedangkan tubunya di kunci dengan kayu yang di balut menjadi kereta. sesungguhnya kuda dapat lari dengan bebas tanpa harus memulai dengan ringikan, tetapi system yang membelenggunya membuat dia harus menanggung beban para penumpang kereta.
Lani hidup dalam sebuah system yang sangaja di desain agar dia tetap menanggung beban kemiskinannya. Jadi, kalau menurut ilmuan social yang berbeda dengan paradigm ‘mainstrem”, dehumanisasi dan pemiskinan yang terjadi pada diri Lani merupakan akibat dari system dan relasi social, ekonomi dan politik yang tidak manusiawi dan tidak adil. Ini artinya sangat erat kaitannya dengan kebijakan Negara dan kebijakan system politik ekonomi baik tingkat local, nasional, regional bahkan tingkat global.
Bagi Lani, Negara seperti tidak ada. Sebab, ia hanya diperankan sebagai wasit yang pada kenyataannya seringkali cenderung kepada para pemilik dana. Harusnya, Negara melindungai anak-anak yang telah lahir di dalamnya, akan tetapi, Lani dan kaum miskin lain dianggap bukan sebagai anak kandungnya.
Coba bayangkan. jika saja lani merasa di temani oleh Negara, mungkin hak ijazah atas bukti telah menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, sudah ada ditangannya. Tetapi hak itu masih dibelenggu, lantaran dia tidak dapat menyisahkan kocek dengan nominal yang tak ada dalam kantong ayah dan ibunya.
Lalu, bagaimana agar Lani dan 29.000 penduduk Kuningan bebas dari kemiskinan? Pertama, kita harus berani melihat kemiskinan Lani dari prespektif lain. Caranya dengan menjauhkan diri dari cara pandang yang menitik beratkan pada persoalan inhern Lani, apalagi dari pemahaman secara dangkal terhadap Lani, yakni, sosok perempuan muda yang cantik dan pantas untuk di goda. Kita harus berani melihat bahwa kemiskinan adalah akibat dari suatu proses, kebijakan, institusi mapun mekanisme.
Kedua, mengerahkan seluruh kekuatan politik, kebudayaan dan social movement dalam menghentikan setiap proses dehumanisasi dan pemiskinan.  Dalam konteks kebudayaan, setidaknya, ada dua agenda penting. Pertama, membongkar kembali konstruk budaya yang memapankan proses dehumanisasi dan pemiskinan. Kedua, menggerakkan kebudayaan sebagai media transformasi social.
Dengan demikian, Seren Taun bagi lani adalah jihad kaum miskin dan marjinal dalam rangka merubah realitas social menuju tatanan social yang berkeadilan. Ia menyingkirkan segala atribut yang memisahkan antara kaum elit dan kaum alit. Ia pun tak peduli dengan makna tawa dan senyum yang berbeda, baginya, yang terpenting adalah pertemanan dengan kebudayaan yang selalu menggerakkan pada perubahan social. Sehingga, pasca kemegahan Seren Taun, ia tidak sendiri dalam menghentikan proses dehumanisasi dan pemiskinan, melainkan tetap ditemani oleh semangat luhur yang terkandung dalam Seren Taun itu sendiri.


Abdul Muiz Syaerozie, Cigugur, 7 November 2012

Tidak ada komentar: