WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Selasa, 18 Desember 2007

PEMIKIRAN


KORUPSI DAN PROBLEM REGULASI PRODUKSI HUKUM DI INDONESIA
Oleh : Abdul Muiz Syaerozie


Menurut prespektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindakan pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.

Ketigapuluh bentuk atau jenis tindakan pidana korupsi (Tipikor) tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: kerugian keuangan Negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

Selain bentuk atau jenis tindakan korupsi, seperti telah dikatakan diatas, masih ada tindak pidana lain yang berkaiatan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaiatan dengan tindak pidana korupsi itu adalah merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu dan saksi yang membuka identitas pelapor.

Penjelasan korupsi secara gamblang dalam UU No. 31 tahun 1999 justru menemukan persoalan ketika dianggap tidak selaras dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006. hal ini mendorong Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) membentuk tim yang bertugas menyelaraskan UU No. 31 tahun 1999 dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Tetapi ironisnya, ditengah hiruk pikuk munculnya kembali disbelief masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani korupsi, justru hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi dienyahkan oleh tim bentukan departemen Hukum dan HAM (Depkumham). Bahkan menghilangkan wewenang komisi pemberantasan korupsi (KPK).

Padahal, penghapusan hakim ad hoc pengadilan tipikor akan menimbulkan akibat yang cukup fatal. Pertama, paralisa dunia peradilan korupsi. Akibatnya, beberapa kasus korupsi yang telah terungkap dan masih dalam proses penyididikan maupun kasus korupsi yang tinggal menunggu putusan pengadilan akan terhambat karena mekanisme penangannya mengalami kendala. Padahal dalam Bab IV pasal 57 huruf a dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum, UU Nomor 2 Tahun 1986 diganti oleh UU Nomor 8 Tahun 2004, korupsi termasuk tindak pidana yang pemeriksaannya harus didahulukan.

Kedua, situasi diseqluibrium dan serba tidak menentu. situasi ini akan menjadi angin segar bagi para koruptor untuk tidak dimeja hijaukan. Inilah kenyataan pahit yang sering nampak dalam drama peradilan di negeri kita. Banyak masyarakat yang tercengang dan terheran-heran ketika memandang praktik peradilan negeri ini, dimana para tersangka pada ujungnya dibebaskan. Supremasi hukum di Indonesia tunduk pada aktivitas politik.

Pada dasarnya, jika kita amati secara seksama, persoalan ketidak selarasan UU No. 13 tahun 1999 dengan UNCAC hingga melahirkan problem turunannya dipicu oleh problem yang terkait dengan produksi hukum di Indonesia. Yakni problem regulasi produksi hukum.

Problem Regulasi

Kita sering megamati bahwa di Indonesia sebuah Undang-undang tidak jarang dianggap nihil evektifitasnya ditengah masyarakat. Banyak produk hokum yang terabaikan dan memang tidak efektif, tidak terkecuali undang-undang anti korupsi. Factor yang memicu atas disefektifitas produk hokum antara lain di sebabkan :

Pertama, tidak ada kekeselarasan antara produksi hokum dan penegakannya. Artinya, disatu sisi eksekutif maupun legislative begitu gencar memproduksi hokum, sementara disisi yang lain penegakannya oleh pihak yang berwajib terkesan tidak serius.

Kedua, melekatnya mental proyek oriented pada pembuat hokum. Dalam spectrum ini, pembuat hokum tidak mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dalam rangka merumuskan atau memproduksi rancangan sebuah undang-undang. Akibatnya, produk hokum yang dihasilkannya sering bertentangan dengan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, perlunya mewujudkan suatu peraturan atau undang-undang yang mengatur pembuatan hukum. Dan hal ini tentu saja peraturan pembuatan hokum lebih ditekan kan pada persoalan riil dan sangat dibutuhkan demi menjaga stabilitas negara. Artinya, harus ada ketegasan secara formal bahwa suatu undang-undang dapat dibentuk jika sangat dibutuhkan dan tidak bertentangan dengan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, seharusnya pemerintah dalam soal produksi hokum harus mampu membaca persoalan riil ditengah masyarakat. Sebab dengan pembacaan secara komprehensip terhadap persoalan nyata ditengah masyarakat justru akan membantu pembentukan sikap berbangsa dan bernegara sebagaimana ruh yang tumbuh dalam masyarakat itu saendiri. Artinya produk hokum yang dihasilkan tidak kontra produktif dengan semangat kebangsaan.

Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar: