WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Selasa, 18 Desember 2007

Wacana


REKONSTRUKSI DIALOG ANTAR AGAMA
Oleh : Abdul Muiz Syaerozie


Sebagai bangsa yang mempunyai ragam etnik, budaya dan agama, dialog menjadi sangat penting didalamnya. Karena itu, berbagai aktivitas akademik seperti seminar, workshope, semiloka dan berbagai kajian ilmiah terus dilakukan guna mewujudkan model dialog yang paling efektif.

Hal ini memang harus dilakukan mengingat dalam catatan sejarah kebangsaan di Indonesia, perbedaan etnik dan agama acap kali dituding sebagai pemicu konflik. Bahkan pada taraf tertentu konflik yang diakibatkan perbedaan etnik dan agama ini ditengarai sangat membuka ruang bagi perpecahan bangsa. Karena itu iklim dialog harus terus diupayakan dan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nilai signifikansi dialog, paling tidak, dalam suatu bangsa yang mempunyai watak keragaman adalah dapat membantu pertumbuhan budaya secara sinergik dan sekaligus mengantisipasi ancaman disintegrasi bangsa. Melalui dialog, diharapkan budaya dapat tumbuh secara sehat. Melalui dialog pula integrasi bangsa di harapkan dapat berdiri secara utuh.

Secara khusus, kesadaran membangun dialog antar agama bukan merupakan hal baru. Upaya mengkonstruksi dialog antar agama dari dulu sebenarnya telah diupayakan. Qadli Abdul Jabbar, Muhammad Abduh dan Abu Zahra – untuk sekedar mengungkapkan contoh - merupakan sederetan nama tokoh yang berusaha mengkaji dialog antar agama dan peradaban. Tetapi mengapa formulasi dialog yang dikonstruksi justru belum dapat menuntaskan problem keragaman agama?. Konflik yang melibatkan massa yang berbeda agama seperti di Poso misalnya, masih saja terjadi. Kecurigaan suatu agama terhadap agama yang lain juga menjadi bukti kurang efektifnya formulasi dialog yang ada.

Muhammad Arkoun, seorang pemikir muslim kontemporer, menampakkan wajah kegelisahannya dengan persoalan ini. Tokoh yang dikenal concern dalam mendekonstruksi nalar Islam ini juga berupaya mengkonsentrasikan pemikirannya pada persoalan dialog antar agama.

Bagi Arkoun, dialog klasikal model Muhammad Abduh dinilai sangat mustahil menciptakan tatanan masyarakat dan kehidupan beragama yang damai. Cara pandang yang masih menempatkan Islam vis a vis Barat menurut Arkoun hanya akan menciptakan sikap apologetik dan ekslusif.

Cara pandang yang demikian ini juga hanya akan mendorong kaum agamawan merasa berkewajiban untuk berdiri melawan The Other-tidak berusaha memasuki perspektif orang lain, tetapi malah melindungi, mengklaim, dan menegaskan "nilai-nilai" spesifik atau "otentisitas" yang tidak dapat dilampaui dalam agama masing-masing.

Karena itu, Muhammad Arkoun mengajak meninggalkan model dialog tardisonil dan berupaya membangun formulasi dialog antar agama yang baru. Yakni suatu dialog yang lebih rasional, objektif dan kritis. Kalau dalam dialog klasik referensi-referensi teologis digunakan sebagai system cultural untuk saling bersifat eklusif maka dalam bangunan dialog yang baru, referensi-referensi teologis digunakan sebagai alat untuk melamapaui kungkungan tradisonil.

Ada tiga hal menurut Muhammad Arkoun yang harus dilakukan guna menyukseskan agenda dialog antar agama, khususnya antar-tiga agama Semit. Diantaranya adalah :

Pertama, melakukan pemikiran ulang tentang agama dan masyarakat menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial. Agama secara histories tidak dimaknai sebagai pemecah masyarakat dan pembentuk sikap anti humanis, melainkan harus dimaknai sebagai factor pendorong bagi kesatuan dan solideritas ummat manusia.

Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis eksklusif menuju kritisisme radikal tanpa konsesi radikal terhadap "akal religius" sebagaimana fungsinya dalam tradisi tiga agama Semit itu. Dalam spectrum ini, Arkoun merumuskan kritik epistemologi terhadap bangunan keilmuwan agama, lebih khususnya bangunan keilmuwan agama Islam.

Ketiga, perlunya studi agama secara historis-antropologis. Anjuran Arkoun ini merupakan upaya untuk memahami, mencermati dan menganalisis konstruksi keilmuan dan pemikiran keagamaan secara lebih mendasar.

Dengan tawaran tiga langkah rumusan Muhammad Arkoun setidaknya diharapkan dapat membantu kita mengentaskan problem hubungan antar agama sekaligus menghidupkan kembali iklim dialog antar agama yang lebih kondusif, efektif dan terkesan lebih dewasa dalam konteks keindonesiaan.

Jika bangsa yang mempunyai ragam agama ini tidak ingin segera berantakan, maka segeralah kita membuka ruang dialog dialog antar agama. Sebab dengan dialog keutuhan Indonesia sangat mungkin tetap terjaga. Sedangkan Menjaga integritas bangsa adalah kewajiban bagi kita semua. Demikianlah pada akhirnya.

Penulis adalah Direktur Cires (Centre for Interreligious Studies) dan Sekjend KSS. (Komunitas Seniman Santri).

Tidak ada komentar: