WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Selasa, 18 Desember 2007

Pendidikan


Mem-protect Pendidikan dari Arus Nalar Komersil
Oleh : Abdul Muiz Syaerozie


Ketika seorang ustadz secara lantang mengusulkan biaya pendidikan santri di naikkan seratus rupiah, kyai justru menyangkalnya dengan pertimbangan lain. Sang ustadz bermaksud agar biaya tambahan dapat dialokasikan pada suatu bentuk kegiatan yang kini terancam pasif. Sedangkan Kyai mengedepankan realitas social ekonomi santri dan wali santri.

Argumentasi ustadz memang sangat logis terkait dengan agenda pendidikan yang tersusun secara sistematis, tetapi pertimbangan Kyai terhadap latar belakang ekonomi santri dan wali santri jelas tidak mungkin di sangkal. Masalahnya, latar belakang ekonomi santri dan wali santri berada dalam taraf ekonomi rendah. Mereka kebanyakan berstatus sebagai petani dan buruh tani berpenghasilan dibawah standar kebutuhan.

Bagi Kyai, menaikkan biaya pendidikan, walaupun sebatas seratus rupiah, justru akan menambah beban orang tua santri. Padahal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang tua santri harus berbanting tulang, demi menyambung hidupnya, ditengah arus system ekonomi global yang tidak berpihak pada kaum lemah.

Perdebatan dalam forum musyawarah, yang penulis ungkapkan diatas dan di saksikan dengan kepala mata sendiri, secara implicit menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita sedang dihadapkan pada berbagai problem yang dari dulu hingga sekarang belum pernah terselesaikan. Salah satu problem yang sedang dan “biasa” menimpa dunia pendidikan kita adalah komersialisasi pendidikan.

Dalam spectrum ini, pendidikan tidak lagi berupaya me-manusia-kan manusia, sebagaimana seharusnya pendididkan berfungsi, melainkan diperankan selayaknya “barang dagangan” yang ditawar kemana-mana. pendidikan telah berubah wujud dan dijerumuskan dalam carut marut dinamika pasar global. Pendidikan di “gadaikan” pada pihak pemodal. Singkatnya, pendidikan menjadi subjek baru dalam scenario aktivitas komersil.

Akibat dikomersilkan, pendidikan menjadi mahal. Ia menjadi sesuatu yang sulit di jangkau dan sekaligus “yang asing” bagi kalangan masyarakat kelas ekonomi rendah. Pasalnya, biaya untuk berproses dalam aktivitas pendidikan sangat tinggi hingga masyarakat miskin tidak mampu membayarnya. Kondisi ini jelas sangat bertentangan dengan semangat memberantas kebodohan, ketertinggalan dan semangat penanggulangan buta huruf.

Akibat dikomersilkan pula, dunia pendidikan dihadapkan pada problem dikotomik lembaga pendidikan berdasarkan kelas social ekonomi. Betapa tidak! system pendidikan di negara kita, sampai hari ini, masih mengenal pembedaan antara “pendidikan elite” dan “pendidikan pinggiran”. “pendidikan elite” mengandaikan lembaga pendidikan yang berbiaya mahal dengan sarananya yang memadai. Lembaga ini, secara tidak langsung disediakan untuk kalangan masyarakat ekonomi atas, sedangkan “pendidikan pinggiran” justru sebaliknya, berbiaya sangat rendah tetapi tanpa ditunjang sarana yang memadai. Kalangan masyarakat miskin seraya harus puas menikmati dunia “pendidikan pinggiran”.

Dalam system ini, suatu lembaga pendidikan diukur dari harga yang ditawarkan. Semakin mahal biaya pendidikan maka semakin terjamin pula kwalitas dan sarana pendidikannya. Karena itu, hanya kalangan masyarakat ekonomi atas saja yang menikmati, sedangkan kaum miskin tidak dapat meraih dan menikmati dunia pendidikan berkwalitas.

Fenomena diferensiasi berdasarkan kelas social ekonomi dalam dunia pendidikan dinegara kita akan tetap bertahan jika pendidikan masih dipertahankan dalam arus nalar komersil. Malah justru kondidisnya akan diperparah dengan beroprasinya pasar bebas, yang memegang teguh prinsip kebebasan bagi setiap individu untuk berinvestasi dan mengembangkan modalnya di seluruh belahan dunia, sekaligus dapat menempatkan seluruh sektor kehidupan sebagai komoditi dalam rangka memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, termasuk sector pendidikan.

Pada tataran praksis, memang pemerintah tidak pernah lelah melakukan reformasi di bidang pendidikan. Misalnya melalui kebijakan alokasi 20 % dari APBN dan APBD pada sector pendidikan, program pengentasan buta huruf, rekonstruksi kurikulum berbasis kompetensi dan lain sebagainya. Namun mengapa semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan factual bagi perbaikan dunia pendidikan di Indonesia secara utuh, justru ditengah reformasi dan demokrasi dirayakan.

Disinilah kita perlu melakukan kritik atas kecenderungan pemerintah dan sebagian besar pengelola pendidikan. Sejauh ini, mereka cenderung memberikan peluang bagi proses komersialisasi dibidang pendidikan. Melalui argumentasi meningkatkan kwalitas anak didik, pendidikan dijerumuskan dalam carut marut dinamika pasar global. Pendidikan di “gadaikan” pada pihak pemodal dan dikomersilkan hingga tidak dapat dijangkau kalangan masyarakat miskin.

Sikap demikian pada ujungnya melalaikan sekaligus menutup mata atas fakta yang menunjukkan bahwa masih banyak anak jalanan dan orang-orang miskin tidak pernah mengenyam dunia pendidikan, begitu pula sikap ini membuat lupa atas fakta bahwa kebanyakan masyarakat pedesaan dan masyarakat pedalaman masih didera buta huruf dan ketertinggalan.

Seharusnya, dalam memformulasi tatanan dunia pendidikan, pemerintah dan pengelola pendidikan memegang teguh prinsip egaliterian dan keadilan social. Karena dengan prinsip ini pendidikan rakyat akan menjadi sebuah kenyataan, yakni pendidikan murah dan tanpa membedakan kelas social tertentu. Caranya dengan memproteksi dunia pendidikan dari aktivitas pasar. Dengan kata lain, Pendidikan tidak dapat dijangkau oleh kegiatan komersil. Disamping itu, pemerintah juga harus berupaya memperkaya sarana pada setiap lembaga pendidikan. Karena pendidikan merupakan kewajiban negara dan hak bagi seluruh ummat manusia. Dengan prinsip ini pula harapan membangun pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat kemungkinan besar dapat terealisasikan.

Lalu bagaimana dengan pesantren yang biasa diabaikan pemerintah?. Pesantren, sekaligus dalam menjaga kemandiriannya, sudah saatnya ditantang menampilakan kemampuannya dalam mengembangkan potensi mengolah zakat. Karena secara intelektual, pesantren mempunyai pengetahuan luas tentang zakat hingga perlu diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkrit. Disini zakat dapat didistribusikan untuk aktivitas pendidikan dipesantren hingga dapat memnimalisir beban biaya santri, sebagaimana diinginkan Kyai dalam perdebatan yang dikutip diatas. Tetapi mampukan pesantren mengelola zakat dengan manajment yang lebih modern?.

Wallahu ‘alam.


Pimpinan Umum Laduni, Sekjend KSS dan Direktur CiRes (Centre For Interreligious Studies) Yogyakarta.

Tidak ada komentar: