WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Selasa, 26 Februari 2008

Dramaturgi Politik Pilkada

DRAMATURGI POLITIK PILKADA
Oleh : Abdul Muiz Syaerozie


Hanya dalam hitungan bulan, PILKADA kabupaten Cirebon segera digelar. Ini berarti bahwa tahapan-tahapan ritual menuju titik puncak pesta demokrasi setidaknya akan dan telah dilakukan dengan sekian sitematikanya. Mulai dari konsolidasi elit politik, perebutan kendaraan politik, penggalangan massa sampai pada prosesi kampanye.
Dalam momentum ini, kita selalu dipertontonkan pada sebuah aksi dari para aktor politik yang sarat dengan kepura-puraan, manipulasi atau kedustaan, dan seolah-oleh benar-benar terjadi. Artinya, dalam momentum pilkada, kita sedang menonton dramaturgi politik yang diperagakan para tim sukses, elit politik dan calon pemimpin masa depan.
Karena itu, kita dapat menyaksikan setiap elemen yang menjadi pemeran dalam drama sederhana tanpa prolog dan epilog ini berprilaku dalam ranah yang dapat membangun kepercayaan masyarakat. Berakting secara menyakinkan hingga dapat menumbuhkan rasa simpati dalam jiwa kesadaran para penonton. Titik arahnya menggiring penonton pada suatu anggapan prihal kapasitas, moralitas dan integritas figure calon yang bersangkutan.
Ada scenario yang disusun secara sistematis. misalnya, dalam upaya membangun simpati masyarakat, kita dapat menyaksikan aktor dramaturgi politik berakting dalam dua kategori bentuk aksi. Pertama kategori aksi social. Seperti memberi bantuan sembako kepada masyarakat miskin, membiayai sekolah bagi anak-anak yatim, membuka pos kesehatan geratis untuk masyarakat dalam jenjang waktu yang terbatas dan setiap aksi social yang dilakukan menjelang masuknya masa kampanye.
Secenario ini dikemas seolah-olah apa yang dilakukannya karena factor kemanusiaan. Padahal, dibalik aksi socialnya terselubung manipulasi dan pendustaan terhadap masyarakat. Masyarakat dibohongi dan didustai dengan cara menampilkan wajah kemanusiaan yang bersifat sesaat dan akan hilang secepat kilat ketika dramaturgi politik telah usai.
Kedua, kategori aksi keagamaan. Seperti sholat bersama masyarakat, istighosah bersama masyarakat, menghadiri pengajian, dan silaturrahmi ketokoh-tokoh agama. Hal ini diperagakan bukan dalam kapasitas kemurniannya mendekatkan diri pada sang khalik, melainkan juga difungsikan sebagai media politik.
Singkatnya, model skenario dramaturgi politik yang diperankan tim sukses, elit politik dan calon pemimpin masa depan dalam spectrum ini, sengaja difungsikan sebagai media sosialisasi sekaligus berfungsi untuk membentuk stereotype positif kepada figure calon yang bersangkutan ditengah masyarakat. Tentu pada gilirannya akan menumbuhkan rasa simpati masyarakat.
Dengan memerankan sebagai sosok kepribadian yang shalih, dan sosok serta kelompok yang sensitive akan persoalan social, seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, aktor dramaturgi poitik mengharapkan terbangunnya citra positif tentang biografi calon ditengah masyarakat. Padahal solusi yang ditampilkan dalam dramaturgi politik hanya bersifat sementara. Dan itu tidak akan bisa menyelesaikan problem rakyat kecil sampai ketingkat akar-akarnya jika hanya dengan memberikan sebungkus sembako dan souvenir.
Tidak hanya itu, dalam dramaturgi politik, kita juga dapat menikmati betapa lihainya para aktor politik dalam mengawal impian para penontonnya. Terutama pada musim kampanye. Penonton atau masyarakat yang mempunyai harapan untuk masa depan daerah dan atau bangsanya, di “kelabui” dengan serentetan program yang begitu menjanjikan. Seolah-olah program itu benar-benar akan terwujud hingga harapan masyarakat menjadi nyata. Walaupun kadang-kadang program yang di lontarkan dalam drama sederhana tanpa prolog dan epilog itu terkesan irasional.
Aspek lain yang dapat kita tonton dalam dramaturgi politik adalah aspek komunikasi. Dalam dramaturgi politik, komunikasi yang dipraktikkan para aktor cenderung menggunakan bahasa-bahasa patriotic dan emansipatorik. Yakni bahasa yang seakan-akan mengapresiasikan spirit pembebasan dari sekian masalah pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Sekaligus menggambarkan jiwa emansipatoris calon pemimpin terhadap rakyat kecil. Sang aktor seakan-akan mempunyai sikap keberpihakan kepada kaum lemah.
Adalah benar bahwa sosialisasi program dan pencitraan sangat penting bagi proses pemenangan di kancah pemilihan kepala daerah. Namun, metode yang terumuskan dalam scenario dramaturgi politik cenderung sepihak dan selalu merugikan masyarakat. Bukankah masyarakat disepanjang masa dan diberbagai daerah sering disuguhi pengalaman-pengalaman yang menyesakkan dada?.
Sebut saja misalnya, kasus mangkirnya Bupati Sleman sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi buku ajar kabupaten Sleman senilai Rp. 12 miliar (kedaulatan Rakyat). Padahal jauh sebelumnya salah satu program yang ditawarkan adalah penegakan hukum yang seadil-adilnya.
Atau kasus 1,4 juta anak tidak sekolah di Banjarnegara, (kompas) misalanya, yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan. padahal pemerintah telah berjanji sebelumnya untuk tidak mengabaikan programnya pada sector pendidikan. Pengingkaran janji-janji model seperti ini sudah tidak asing lagi bagi kita.
Dari sisni, seharusnya para elit politik sadar bahwa cara klasik yang di tergambar dalam scenario dramaturgi poltik sangat tidak produktif dan menghambat pencapaian kata sukses. Sebab scenario ini sangat memberi peluang pada pupusnya komitmen terhadap apa yang dijanjikan.
Oleh karena itu, elit politik seharusnya tidak memonopoli peran dalam dramaturgi politik yang hanya menempatkan masyarakat sebagai penontonnya. Tetapi harus membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat secara aktif. Caranya dengan mengikut sertakan masyarakat dalam proses perumusan rancangan program, dan kontrak politik bersama masyarakat untuk tetap komitmen pada program rancangan bersama.
Dengan partrisipasi aktif masyarakat, akan terbentuk suatu sikap tanggung jawab ditengah masyarakat. Calon pemimpin pun akan sulit mengabaikan jani-janjinya. Dan nuansa gerak masyarakat bersama elite politik juga relatif baru. Mereka bukan lagi sebagai penonton, tetapi sama-sama menjadi aktor. Inilah yang harus diwujudkan dalam momentum pilkada kota madya Cirebon.



Penulis sekjend KSS (Komunitas Seniman Santri)

3 komentar:

Ahmad Baequni mengatakan...

luwi bagus deke qt

fadllan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
fadllan mengatakan...

Salam Kenal.

Terus ditingkatkan ngebloknya mas, tulisannya bagus tuh, tinggal blognya aja yang diperindah.

Selamat ngeblog.
http://elwara.net