WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Minggu, 30 Maret 2008

TOL CIKAPA


MEMBACA JALAN TOL PALICIK
Oleh : Abdul Muiz Sayaerozie




Sekiranya Cukup unik dan menarik, terutama ketika kita membaca kasus mega proyek jalan tol Palicik (Palimanan Cikampek) yang dihadapi pondok pesantren Babakan. Sebagai orang awam, tentu saja kita menjadi ambigu sekaligus terheran-heran, pasalnya:

Pertama, ada kesan pihak pesantren dan masyarakat Babakan Ciwaringin Cirebon menolak pembangunan Jalan Tol. Padahal disatu sisi, pembangunan jalan tol adalah bagian dari program pembangunan nasional. Di sisi yang lain, pesantren yang seringkali menjadi pelopor pembangunan demi kesejahteraan masyarakat, dalam kasus ini, justru menolaknya. Seolah-olah ada sikap paradok yang di tampilkan oleh pesantren dan masyarakat Babakan.

Tetapi jika kita amati lebih mendalam, ternyata bukan itu persoalannya. Pesantren dan masyarakat Babakan sebenarnya mendukung program pembangunan jalan tol, hanya saja tidak harus mengorbankan lembaga pendidikan. Ada benarnya apa yang digelisahkan pesantren dan masyarakat Babakan. Hal ini dapat kita tangkap dari jalur tol Palicik, yang direncanakan pihak pengembang, terindikasi mengancam terbelahnya komplek pesantren.

Tentu saja, jalur tol yang akan membelah komplek pesantren sangat berbahaya terutama bagi proses pendidikan pesantren kedepan. Sebab, jika kita mau jujur, salah satu karakteristik pendidikan pesantren adalah lingkungan yang integral. Artinya, Proses pendidikan dipesantren, apalagi pendidikan akhlaq, sangat dibutuhkan peran dan control Kyai terhadap santri dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan apabila santri, Kyai, dan masyarakat terdapat dalam satu lingkungan yang tak terpisahkan.

Kedua, bagi kita orang awam, sepertinya semudah membalikkan tangan untuk sesegera mungkin menuntaskan problem tol Palicik (palimanan Cikampek). Misalnya dengan mengajukan permohonan ke pemerintah, menghadirkan pihak pemerintah untuk berdialog bersama pesantren dan masyarakat, dan merealisasikannya berdasarkan kesepakatan bersama.

Tetapi pada kenyataannya tidak semudah apa yang kita bayangkan. Hal ini dapat kita baca dari kedatangan Menteri PU ke pesantren Babakan justru tidak membawa keputusan apapun. Proses dialog yang direncanakan tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan pesantren dan masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini menteri PU, sama sekali tidak melakukan dialog dengan masyarakat. Malah kedatangannya sarat dengan nuansa rekayasa. Mentri PU sengaja dihindarkan dari proses dialog dengan masyarakat oleh oknum-oknum tertentu.

Fenomena ini sebenarnya bukan "barang asing" bagi kita sebagai orang awam. Melainkan kita sudah terbiasa dengan fenomena ini. Dimana dalam situasi sulit dan pelik selalu saja ada yang bermain didalamnya. Pribahasanya "memancing ikan di air yang keruh", Inilah tradisi di negeri kita Indonesia yang tercinta.

Dalam setiap kasus apapun yang berkaitan dan berkenaan dengan masyarakat di Indonesia selalu saja menghadapi fenomena tersebut. Karenanya, sebagai orang awam tidak heran jika dalam setiap persoalan selalu saja menemukan kebuntuan, terhambat dan bahkan terkatung-katung. Malah lebih parah jika akibat dari praktik demikian hasilnya masyarakatlah yang dirugikan.

Sepintas lalu, fenomena ini membawa alam fikiran kita pada salah satu firman Allah Swt. Yang artinya : mereka telah merekayasa, dan Allah pun bisa merekayasa. Allah lah dzat yang paling mahir merekayasa. (Qs. Ali Imran : 54)

Ketiga, kegelisahan dalam tubuh pesantren dan masyarakat Babakan, selain mengancam terbelahnya komplek pesantren adalah dampak lingkungan dan polusi yang ditimbulkan.
Hal ini memang sangat beralasan. mengingat, lingkungan pesantren jika sangat berdekatan dengan jalan tol maka paling tidak akan mengganggu proses belajar-mengajar didalamnya. Misalnya, belajar-mengajar terganggu akibat bisingnya suara kendaraan, kerasnya getaran dan lain-lain.

Selain itu, kawasan yang hendak dilintasi jalan tol dikomplek pesantren Babakan termasuk kategori rawan banjir. Hal ini tentu saja akan semakin diperparah dengan kehadiran jalan tol jika pada proses pembangunannya tidak memperhatikan keselamatan lingkungan dari rongrongan bencana banjir. Singkatnya, banjir akan semakin parah jika konstruksi tol mendukung macetnya arus air sungai Ciwaringin.

Begitu juga problem polusi seperti pencemaran udara. Pencemaran ini bisa timbul dari asap kendaraan. Apabila udara telah tercemari maka sangat berbahaya bagi kesehatan dan psikis masyarakat. Kita tidak munafik bahwa tidak sedikit masyarakat dinegeri ini yang terkena penyakit seperti sesak nafas akibat asap yang ditimbulkan oleh kendaraan. Kita juga dapat melihat bahwa tidak sedikit masyarakat yang mengalami stress diperkotaan karena kebisingan, asap kendaraan dan lain-lain.

Problem ini sangat mungkin terjadi dalam kasus tol palicik (palimanan-cikampek). apalagi posisinya berada dalam kawasan padat penduduk. yakni, suatu kawasan yang dipenuhi pemukiman penduduk dan bangunan fisik asrama santri dalam rangka menunut ilmu untuk masa depan bangsa.

Idealnya, jika kawasan itu sengaja difungsikan untuk aktivitas pendidikan, maka paling tidak syarat mutlak yang harus dipenuhi agar pendidikan benar-benar berhasil adalah lingkungan yang mendukung. Yaitu lingkungan yang aman, nyaman, tidak panas, jauh dari ancaman penyakit dan juga tidak begitu ramai.

Lingkungan yang kini dirasakan stabil dan mendukung kelancaran aktivitas pendidikan dipondok pesantren Bababkan dalam waktu sekejap akan terancam dengan kebijakan pemerintah yang ngotot membangun jalan tol dalam kawasan pendidikan dan padat penduduk. lebih parahnya lagi, apabila AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) yang dilakukan pemerintah tidak dilakukan dengan seksama atau bahkan pemerintah cenderung mengabaikannya. Entah karena tidak berpihaknya pemerintah pada masa depan kehidupan rakyatnya atau karena yang dikedepankan adalah projec oriented.

Kita juga tahu, bahwa salah satu kontributor pemanasan global (global Warming) saat ini adalah polusi kendaraan yang tak mampu dikelola oleh pemerintah. Ironi memang, disatu sisi, pada 2007 yang lalu di Bali, pemerintah kita mempelopori gerakan antisipasi pemanasan global internasional, tetapi disisi yang lain justru pemerintah kita sendiri yang tidak memperhatikan factor-faktor yang mengakibatkan pemanasan global.

Keempat, hal yang paling menarik bagi kita adalah spirit (semangat) perlawanan kaum sarungan, dalam konteks kasus tol Palicik, dimotivasi oleh sejarah mereka. Kita tahu, sebagaimana juga diungkap sejarawan asal Belanda P.H. Vander Camp, bahwa secara histories pesantren Babakan pernah melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah Belanda dalam kasus mega proyek jalan Deandles. Salah satu tokoh yang memplopori perlawanan ini ialah Syekh Hasanuddin (Kijatira). Seorang tokoh kharismatik yang pertama kali mendirikan pondok pesantren Babakan.

Kijatira tidak sepaham dengan pemerintah Belanda yang berencana membangun jalan sepanjang 1000 KM. yang terbentang dari Anyer, Jawa Barat, sampai Panarukan Jawa Timur. Alasannya, pembangunan jalan Deandles mengancam tergusurnya komplek pesantren dan pemukiman penduduk. padahal areal diluar komplek pesantren dan pemukiman pemduduk masih luas. Hal ini seharusnya yang diperhatikan pemerintah Belanda. Demikian kira-kira yang diiharapkan Syekh Hasanuddin atau yang lebih dikenal Kijatira.

Jadi, secara histories memang perlawanan kaum santri memiliki akar sejarahnya. Peristiwa dimasa lalu mampu membentuk semangat tersendiri kaum santri dalam memprotes kebijakan pemerintah soal jalan tol palicik. Disini seakan-akan kita diperlihatkan kembali sejarah Kijatira tiga abad yang lalu.

Dan terakhir, Sebagai orang awam, lagi-lagi kita hanya bisa berharap perjuangan kawan-kawan santri dan masyarakat Babakan benar-benar terwujud dan pemerintah kita tidak lagi mewarisi arogansi pemerintah kolonial Belanda dan karakter adu dombanya. Kita juga hanya bisa berharap pemerintah Indonesia saat ini bersikukuh memegang prinsip tassarufu al Imam alarroiyyah manutun Bimaslahati al mariyyah (Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus tunduk pada kemaslahatan rakyatnya). Sekaligus prinsip Dar'ul mafasid muqaddamu 'ala jalbi al mashalikh (menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada sekedar menarik sedikit kemaslahatan). Atau setidaknya jika aksi protes kaum sarungan mengalami kebuntuan maka paling tidak ada pendewasaan dalam tubuh kaum santri dan pandangan kita atas kesewenang-wenangan pemerintah saat ini bukan sekedar asumsi, tetapi benar-benar terbukti secara empiric.
Wallahu 'alam bissawab.

Penulis adalah Sekjend Komunitas Seniman Santri (KSS)

Dimuat dalam buletin Djatira