WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Senin, 26 Mei 2008

Ahmadiyyah

Ahmadiyyah dan Problem Kesesatan dalam Beragama
Oleh : Abdul Muiz Syaerozie


“Demi Allah, ini adalah fitnah. Saya akan tetap mempertahankan bahwa Tuhan saya adalah Allah Swt. Muhammad adalah utusan Allah. Saya tidak menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci, saya akan mempertahankan Alqur’an 30 juz sebagai kitab suci” demikian kutipan pernyataan yang dilontarkan secara lantang dengan nada emosional oleh seorang nenek tua pengikut Ahmadiyyah di Padang Sumatra Barat. (Trans 7/23 /04/ 2008)

Pernyataan itu dilontarkan sebagai aksi protes atas tuduhan yang menyudutkan kelompok ahmadiyyah di Indonesia. Kita tahu bahwa Ahmadiyyah dianggap telah menodai Islam. Mencoreng sakralitas dan kesucian ajaran Islam. Karena itu, Ahmadiyyah dituntut untuk dibubarkan serta dilarang berkembang di Indonesia oleh sekelompok orang-orang yang menganggap dirinya paling benar.

Pengakuan nenek tua pengikut Ahmadiyah, sebagaimana dikutipan diatas, membuat kita merasa ragu dan perlu kembali mempertanyakan fatwa MUI dan keputusan BAKORPAKEM yang menyatakan Ahmadiyyah sebagai aliran ”sesat”, hingga dilarang hidup di Indonesia. Atas landasan apa MUI dan BAKORPAKEM menghakimi Ahmadiyyah sebagai aliran yang keluar dari garis-garis aqidah Islam?

Peroalan ini penting, mengingat, setiap apa yang diputuskan oleh BAKORPAKEM dan fatwa MUI selalu menuai kontroversi, menimbulkan keresahan ditengah masyarakat dan memicu konflik horisontal. Bahkan pada taraf tertentu mengancam disintegrasi Bangsa. Selain itu, putusan BAKORPAKEM dan fatwa MUI juga memperpuruk posisi Indonesia dalam hal kebebasan beragama dimata internasional.

Kesesetan dalam Islam

Secara etimologis, kata sesat atau dhillun, sebagaimana dalam a Dictionary of modern written arabic, mengartikan a straying from the right path or from truth. artinya kesasar atau tersesat dari kebenaran.

Sedangkan secara teologis, kata dhillun difungsikan untuk menunjukkan makna penyimpangan dari ajaran-ajaran aqidah yang resmi. Penyimpangan ini bisa berwujud pengingkaran maupun penyekutuan. Pengingkaran berarti meniadakan dan tidak mengakui sesuatu yang seharusnya ada dan diakui. Sedangkan penyekutuan berarti menyamakan sesuatu dengan yang lain yang seharusnya tidak perlu disamakan.
Dalam konteks Islam, sebagaimana pendapat Taqiyuddin dalam Kifayatul Ahyar bahwa pengingkaran dan penyekutuan dapat terjadi melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan (i’tiqad). Dalam karyanya itu, taqiyuddin mencontohkan pengakuan sesorang menjadi nabi dan dibenarkan oleh orang lain mengakibatkan pengaku nabi dan pembenarnya telah melakukan kekufuran. Mungkin inilah diantara yang menjadi landasan BAKORPAKEM menyimpulkan sesat kepada kelompok Ahmadiyyah.

Tetapi, pengingkaran terhadap kenabian Ghulam Ahmad dan pengingkaran Tadzkirah sebagai kitab suci, seperti terungkap dalam kutipan diatas, menunjukkan bahwa dalam tubuh Ahmadiyyah terdapat berbagai variabel keyakinan. Inilah yang menjadi kelemahan BAKORPAKEM dalam menilai Ahmadiyyah.

Seharusya, BAKORPAKEM tidak memutuskan secara merata kepada kaum Ahmadiyyah sebagai kelompok aliran sesat. Sebab diantara sebagian mereka mempunyai keyakinan yang berbeda dengan sebagian yang lain. Ada yang mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi dan tadzkirah sebagai kitab suci, ada pula yang tidak meyakininya.

Menghindari Kekufuran

Persoalan sesat-menyesatkan bukan hal yang mudah dan remeh dalam etika beragama. Persolan ini, bahkan pada taraf tertentu akan menjadikan sesorang menjadi sesat. Sebagaimana dikatakan Taqiyuddin bahwa mengatakan kufur terhadap seorang muslim akan menyeret si pengata menjadi kafir.

Namun demikian, kekufuran atau kesesatan harus dihindari dalam kehidupan beragama. Karena, kesesatan adalah bentuk penyakit yag menggagalkan pencapaian keselamatan dalam tradisi beragama. Hal ini paling tidak mendorong kita untuk merumuskan cara pengantisipasian terhadap kesesatan dalam kehidupan beragama.

Model sesat-menyesatkan yang selalu di peragakan oleh MUI dan BAKORPAKEM bukan cara yang ideal bagi upaya menghindari dari kesesatan. Sebab efek negatifnya justru lebih besar dibanding pencapaian untuk menjernihkan kehidupan beragama.

Misalnya, karena fatwa MUI dan keputusan BAKORPAKEM, masyarakat melakukan tindak kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyyah, pengrusakan tempat ibadah dan memicu konflik horisontal. Selain itu, apa yang dilakukan MUI dan BAKORPAKEM sangat mengancam bagi pertumbuhan keagamaan kedepan. Bahkan ditengarai berseberangan dengan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Langkah yang paling efektif sebenarnya adalah penguatan kembali pendidikan agama. Selama ini pendidikan agama, baik yang dibawah naungan departemen Agama maupun Pesantren, kurang berjalan efektif. Penguatan pendidikan agama dapat diwujudkan jika MUI dan BAKORPAKEM menjadi bagian yang merumuskan startegi sekaligus mengawal pendidkan agama dalam ragka menghindari kesesatan. Bukan sebagai hakim baru dan ”polisi” dalam kehidupan beragama.

Melalui pendidikan agama, diharapkan masa depan kehidupan beragama tumbuh dengan sehat. Kesesatan dapat diminimalisir dan tentu tanpa harus ada yang disakiti. Melalui penguatan pendidikan agama pula, persoalan kesesatan dalam beragama tidak mudah ditunggangi kepentingan politik sesaat. Sebab pada praktiknya, sesat menyesatkan selalu dimanfaatkan dalam memuluskan kepentingan politik kelompok tertentu.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UINSunan Kalijaga Yogyakarta aktif di KSS (Komunitas Seniman Santri) Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
dइमुँत दी http:/www.nu.or.id