WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Senin, 26 April 2010

Essai


Gus Dur, Gus Mus dan Ayahku
Sebuah Catatan Pendek
Suatu malam mataku tak dapat melawan kantuk. Padahal, lebih dari 7 tahun siangku menjadi malam dan malamku menjadi siang. Dalam hitungan menit, aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Kecuali, aku telah mimpi, ketika jiwaku terjaga dari tidurku yang pulas.
Duduk di depan anak-anaknya, ayahku bercerita tentang arti kehidupan.  Aku tak dapat banyak menangkap. Boleh jadi karena otakku lebih banyak dikuasi dosa-dosa, sehingga proses pencernaannya agak telmi. Atau mungkin juga karena cerita itu dalam mimpi yang alur peristiwanya kadang kurang beraturan. Itulah mimpi, bunga-bunga tidur. Bernasib buruk, Lantaran sering dituduh tak punya arti. Tetapi mimpi tidak sehina itu. Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, atau yang biasa dipanggil imam Ghozali, mengangkat mimpi sebagai bagian dari epistemologi dengan catan-catatan tertentu.
Ayahku kerap mengangkat kedua tokoh idolanya; Abdurrahman Ad-Dhakhil yang akrab dipanggil Gus Dur, Mustofa Bisri yang familier dipanggil Gus Mus. Baginya, kedua tokoh itu adalah ulama yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Begitu sempurnanya kedudukan kedua tokoh itu di mata ayahku. Gus Dur dan Gus Mus, menurut ayahku di tengah cerita dalam mimpi itu, adalah Kyai yang memiliki orientasi, visi dan misi kehidupan yang jelas.
Gus Mus mampu memenuhi hasrat al-Jannatu tahta aqdami al ummahat. Sedangkan Gus Dur bisa membuat orang-orang yang terpinggirkan masih merasa punya kehidupan ketika berada disampingya. Dengan kesalihan dan kealiman, Gus Mus sering bercengkrama dengan penciptanya. Melalui qur’an, puisi, ngaji kitab dan bahkan sungkem pada orang yang melahirkan, Gus Mus menjadikan itu semua sebagai medan pengembaraan spiritualnya. Taqarrub ilallah Gus Mus, tidak membuat beliau  mengabaikan tuntutan hak sesama makhluknya. Gus Mus masih tetap meladeni semua tamu yang singgah dirumahnya.
Dengan kesalihan dan kealiman pula, Gus Dur menjadi sosok pemaaf. Berbagai caci dan makian yang bertubi-tubi dari orang-orang yang sebenarnya masih awam, Gus Dur tetap memaafkan atas khilaf orang-orang yang membencinya. Gus Dur tidak pernah lelah menanamkan benih-benih perdamaian, benih-benih kasih sayang di tengah kehidupan yang liar dan garang. Gus Dur juga sering soan ke nisan-nisan kekasih Tuhan. Karena itu semua, kata ayahku, Gus Dur dan Gus Mus adalah sosok ulama yang dicintai para ulama dan sosok ulama yang mencintai para ulama. Gus Dur dan Gus Mus merupakan sosok yang dicintai banyak manusia sekaligus sebagai sosok yang mencintai banyak manusia.
Menjadi ‘alim dan Sholih tidak semudah membalikkan tangan. Menjadi orang ‘alim dan sholih, kata ayahku, perlu mengerahkan segala kemampuan, Badzlul wus’i. Mencermin kepada tokoh-tokoh ‘alim dan sholih adalah salah satu cara menumbuhkan keinginan untuk menjadi orang ‘alim dan sholeh. Dan mengenal lebih dekat orang ‘alim dan sholeh akan membangkitkan rasa cinta kita terhadap kealiman dan keshalihan. Mungkin karena inilah ayahku mengungkapkan kedua tokoh idolanya dalam cerita dimimpiku yang panjang itu.
Namun sayangnya, aku tidak mampu mengimplementasikan nasihat ayahku yang dituturkan secara Implisit. Aku memang mencintai Gus Dur dan Gus Mus. Tapi, rasa kecintaan kepada kedua idola ayahku itu tidak dapat melebihi kecintaanku terhadap ayahku sendiri. Selain Gus Dur dan Gus Mus, idolaku adalah ayahku. Gus Dur dan Gus Mus menjadi idola ayahku karena ka’aliman dan kasalihannya, sedangkan ayahku menjadi idolaku karena kemampuannya merangkai cerita kedua idolanya menjadi bunga-bunga dalam tidurku.
Wallahu’alam bissawab.

Tidak ada komentar: