WELCOME

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Rabu, 29 September 2010

Spirirtualitas Kemanusiaan

Menohok Ke-Iman-Nan

Suatu ketika aku di sekap oleh suasana pengap. Ku perhatikan dari ujung depan hingga belakang, tidak ada satu pun jendela kaca terbuka. Semua di tutup rapat-rapat. Jika saja ada yang menikmati kepulan asap rokok, entah berapa tetes keringat yang harus dikucurkan. Tetapi tenyata tidak.  Tidak ada satupun yang menikmati Djarum Super dan sejenisnya.

Sudah pengap berjubel pula. Demikianlah penumpang bus Senin-Bekasi yang ku tumpangi. Dari yang duduk hingga berdiri, menambah kesulitanku memperhatikan gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Padahal, aku sudah berjibaku melawan uap tebal yang menyelimuti jendela kaca. Hujan lebat rupannya sedang memenangkan situasi. Jangankan pemandangan diluar, laju roda bis pun dibikin merayap.

Entah bagaimana gejolak kejiwaanku. Marah atau sedih. Yang pasti, suara itu terdengar melengking. “Malam Minggu” lagu Gomblo itu dialunkan dengan nada cempreng. Berbaur ke tengah kerumunan penumpang. Melayang kesetiap daun-daun telinga. Beradu cepat dengan bau keringat diujung lubang hidung.

Ku sempat usahakan agar tatapan mataku mampu menembus pinggang-pinggang penumpang. Aku tak putus asa, kendatipun kadang diganggu oleh bokong-bokong orang dewasa. Aku berhasil menatap pengamen kecil. Jemarinya yang mungil, kuperhatikan cukup lihai memetik sinar gitar kecil.

Bukan lantaran suaranya yang menganggu, atau lagunya yang merdu. Aku hanya ingin memastikan apakah benar suara itu bermuara pada sikecil..? benarkah “Malam Minggu” itu di lantunkan oleh anak yang senasib dengan “Si Budi di Tuguh Pancoran”..?. Sungguh menyedihkan. Anak itu benar-benar telah dirampas hak main dan belajarnya.

Bola mataku berkaca-kaca. Penuh harap masih ada suara-suara pembelaan atas dirinya. Aku tak peduli, apakah dari sudut kursi empuk digedung sana, atau dari bangku-bangku penumpang yang tak jauh dari nasib mereka. Kususuri satu persatu wajah-wajah manusia. Kemanakah sisa “kado emas” yang kemarin mencuat di layar kaca. Apakah limaratus rupiah dari kantong bajuku telah mengembalikan hak main dan belajarnya. Dimanakah suara-suara pembelaan kaum dhuafa dari orang-orang di bawah ragam bendera. Percayalah, anak itu masih menjadi mainan keserakahan umat manusia.

Belum sempat ku temukan sikap keseriusan para pengusung tema-tema kemiskinan. Belum sempat pula ku berburuk sangka kepada mereka. Aku sudah dibikin terperanga. Ibu paruh baya bercelana jeans itu membuat aku tak percaya. Tempat duduk yang tak jauh membuat perhatianku berpaling. Kupasang telingaku penuh kewaspadaan. Aku singkirkan sekuat tenaga suara rombeng pengamen kecil itu. Sejenak, hanya ingin memastikan; tidakkah salah kalimat-kalimat yang muncul dari mulut perempuan itu.

Sekilas memang aku tak percaya, Perempuan paruh baya, dengan jeans dihiasi motif bunga-bunga. Berbaju model “nakal”. Tanpa bungkus jilbab maupun cadar, beristighfar ditemani jari jemarinya sebagai alat penghitung. Aku perhatikan dari balik baju penumpang, tangannya di letakkan pada muka bangku di depan. Perhatianku luput dari perhatiannya. Seolah-olah apa yang dilakukannya tanpa ada perhatian orang lain. Benar prasangkaku. Dia telah bertyammum. Melakukan sholat diatas kendaraan.

Padahal, sejak awal aku sudah mengira. Dengan bajunya yang model “nakal”, memancing nafsu si hidung belang, tanpa jilbab dan cadar, Dia jauh dari Tuhannya. Tetapi nyatanya, aku yang sok religius, aku yang sok moralis, tidak lebih dekat dengan Tuhanku. Sungguh aku tertipu dengan kostum-kostum dan penampilan kulit belaka. Terus, bagaimana orang-orang yang disekeliling masjid-masjid kota, di kurung jubah-jubah dan pakaian ala Turki, di tumbuhi jenggot-jenggot dan kening bercak hitam sebagai tanda sujudnya mendalam dengan mudahnya menenteng pedang dan pentungan untuk menghakimi keimanan. Hanya dari kulit semata..? sungguh tanyaku bikin bimbang.

Kulihat pengamen kecil itu mundur kebelakang, setelah menatap tajam; berapa rupiah uang yang kumasukkan. Dia hanya menyisakan “terimakasih bang” untukku. Selanjutnya ditelan jubelan penumpang. Kini, lelaki berambut gimbal. Raut mukanya yang menyeramkan. kupastikan dia orang jalanan. Rambutnya yang tak pernah tersentuh sampho dan sabun pabrik si tuan polan, mengganti peran sikecil sebagai penyanyi jalanan.

Sorotan matanya cukup tenang. Tidak seperti pengamen kecil yang selalu gundah dengan gerak gerik Satpol PP dipinggir pos keamanan. Aku hanya menunggu lagu-lagunya dapat menyingkirkan suasana pengap dibekap hujan lebat.

Innalillah. Kukira lagu sronok yang ia suka. Sholawat mengepul dari mulut lelaki gimbal. Meredam gumam dan kejengkelan penumpang. Suasana pengap ditohok sigimbal untuk bersabar. Lidahnya fasih seperti mulut para santri. Jauh lebih fasih ketimbang ustadz di televisi. Sholawatnya menandakan dia pencita damai. Aku tak mampu menyikapinya, kecuali menyisakan limaratus rupiah untuk sangu kehidupannya. 

Tuhan. Apalagi yang engkau sedang tunjukkan. Sikecil miskin tanpa pembelaan. Perempuan paruh baya penohok iman. Sigimbal semrawutan pencinta damai. Agamaku, agama pembelaan. Agamaku, agama banyak jalan. Agamaku, agama perdamaian dan rohmatan lil ‘alamin. Itulah jawaban untuk langkah kakiku yang meninggalkan pintu bis di tempat tujuan.

Abdul Muiz Syaerozie
Jakarta 23 September 2010.

Tidak ada komentar: